Njoto dan tragedi G30S

(Diambil dari edisi khusus TEMPO  5-11 Oktober 2009)

 

Saat Lek Njot Bersepatu Roda


Lahir dari keluarga keturunan ningrat Solo. Suka musik klasik.

TUJUH puluh tahun silam. Njoto kecil terpesona pada sepatu roda, mainan
yang tergolong mewah waktu itu, apalagi di Jember, kota kecil di ujung
Jawa Timur. ”Kulo nyuwun dipundhutke sepatu roda,” kira kira begitu
permintaan Njoto kepada ibunya, Masalmah. Sengaja si bocah tak
mengajukan permintaan kepada ayahanda, Raden Sosro Hartono, seorang
keturunan ningrat Solo yang disegani karena perbawanya. Njoto memang
lebih dekat kepada sang ibu.


Saat itu sebenarnya Njoto punya sepeda baru, hadiah dari bapaknya.
Dengan sepeda itu bocah lanang semata wayang dari tiga bersaudara ini
saban pagi berangkat ke sekolah, HIS (Hollands Inlandsche School,
setaraf sekolah dasar) di Jember. Tapi mengayuh sepeda saja belum cukup.
Ingin benar Njoto kecil menjelajahi jalanan Jember dengan sepatu ajaib
beroda yang mungkin dilihatnya di surat kabar itu.

Singkat kata, permintaan sepatu roda Njoto ini sampai juga ke telinga
Raden Sosro. Beruntung, pemilik usaha pembuatan blangkon dan jamu ini
mengabulkan permintaan Njoto. Sepatu roda pun dibeli. Pak Raden secara
khusus memerintahkan dua penjaga Yosobusono, toko batik milik keluarga
Sosro, untuk menjaga Njoto agar tidak jatuh saat belajar meluncur dengan
sepatu roda.

Walhasil, saban sore setelah toko batik tutup, Njoto siap beraksi. Dua
karyawan toko yang masih terhitung kerabat Pak Raden itu turut sibuk
bergerak. Mereka berjaga di sisi kanan dan kiri Njoto yang limbung ke
sana kemari. Lek Njot, si anak majikan, tak boleh jatuh.

Tak lama, Njoto mulai lancar bersepatu roda. ”Dalam sehari saja ia sudah
bisa,” kata Sri Windarti, adik Njoto yang selisih dua tahun umurnya
dengan sang kakak. Sri tinggal di Medan, bersama keluarga Iramani, adik
bungsu Njoto yang terpaut usia 18 tahun.

*l l l*

Lelaki blasteran Solo Jember ini lahir pada 12 Januari 1927 di rumah
kakeknya, Marjono, seorang pemborong yang memiliki rumah bertingkat tiga
di Jember. Sejak kecil Njoto berpembawaan serius seperti bapaknya.
Hobinya pun membaca, seperti yang ditekankan oleh Raden Sosro, yang
mewanti wanti anak anaknya agar rajin membaca dan bukannya keluyuran.

Saat bersekolah di HIS, Njoto tinggal bersama kakek dan nenek dari pihak
ibu di Kampung Tempean, Jember. Adiknya, Sri Windarti, turut serta. Ini
karena Raden Sosro ingin anak anaknya bisa belajar di sekolah Belanda,
yang jauh lebih teratur kurikulumnya, ketimbang sekolah rakyat untuk
orang kebanyakan di Bondowoso, sekitar 30 kilometer utara Jember.

Sepulang sekolah, Njoto terkadang bermain sepak bola di lapangan tak
jauh dari rumah kakeknya. Tentu juga menjelajahi jalanan dengan sepatu
roda. Masa kecil yang riang.

Urusan belajar bukan berarti terabaikan. Menjelang sore, bersama Sri
Windarti, dia naik dokar ke rumah seorang pengajar tambahan bernama
Meneer Darmo. Waktu belajar plus ini mulai pukul lima sore hingga
delapan malam.

Njoto kecil tumbuh dengan cita cita menjadi jurnalis. Kepada ayahnya,
Njoto juga menyampaikan tekadnya untuk menguasai berbagai bahasa asing,
seperti Inggris, Jerman, Belanda, Rusia, dan Prancis.

Sejak kecil Njoto tidak menyukai struktur sosial yang bertingkat dan
cenderung kaku. Pada hari raya Idul Fitri, misalnya, dia merasa tak
nyaman menyaksikan suasana feodal Jawa itu di rumah orang tuanya di
Bondowoso. Ketika sanak kerabat dan para pekerja batik sowan menghadap
Pak Raden, Njoto memilih cabut dari rumah, bersepeda, dan nongkrong di
tempat pemandian umum Tasnan. Pemandian ini terletak sekitar tujuh
kilometer dari rumah dan masih ada hingga kini.

Setamat HIS, Njoto melanjutkan sekolahnya ke Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO), semacam sekolah menengah pertama, di Jember, yang bisa
dimasukinya tanpa tes. Namun, ketika tentara pendudukan Jepang datang,
sekolah Belanda ini tutup. Sang bapak, yang membaca situasi darurat
masih akan lama, memindahkan sekolah kedua anaknya itu ke MULO yang
dibuka Jepang di Solo, Jawa Tengah. Di kota batik inilah kakek dan nenek
dari pihak bapak tinggal.

Di kota ini, Raden Sosro membeli rumah di Desa Kemlayan Wetan 142, di
kawasan Kauman. Selain sebagai tempat tinggal kedua anaknya, rumah ini
0menjadi tempat membuka usaha batik tulis, yang memproduksi sarung
batik, kain panjang, kemben, dan blangkon.

Sabar Anantaguna, salah satu penggiat di Lembaga Kebudayaan Rakyat,
pernah satu sekolah dan sekelas dengan Njoto di MULO Solo. Penampilan
Njoto, seingatnya, cukup rapi dan terawat. ”Dia pakai celana panjang,”
kata Sabar, ”sedangkan saya pakai celana pendek karena miskin.” Di sini
ia tetap bersepeda ketika pergi pulang sekolah.

Njoto pintar bergaul. Tak aneh jika guru menunjuknya sebagai ketua
kelas. Bakatnya di bidang tulis menulis lebih menonjol dibanding olahraga.

Suatu ketika Njoto membuat karangan tentang para penjudi sepak bola yang
kecewa. Para penjudi itu, begitu ia menulis, sudah berkumpul di pinggir
lapangan siap menyaksikan pertandingan. Apa daya, hujan tiba tiba turun
dan pertandingan langsung bubar. Para penjudi kecewa karena batal
bertaruh. Karangan ini, seperti beberapa karangan Njoto lainnya,
dibacakan guru di depan kelas.

Selain pintar menulis, Sri Windarti mengenang, kakaknya hobi menikmati
musik klasik, bermain gitar, dan mengarang beberapa lagu. ”Dia sendiri
tidak menyanyi. Saya yang disuruh menyanyi,” kata Windarti.

Njoto membentuk grup Suara Putri, yang berisi empat penyanyi remaja
putri yang salah satunya adalah Windarti. Mereka berlatih bernyanyi
sambil diiringi petikan gitar Njoto. Salah satunya lagu Wanita Asia,
yang sempat mereka nyanyikan di stasiun radio di Solo dan belakangan
direkam dalam piringan hitam. Lagu ini memuji ketegaran perempuan Asia
plus menyanjung kedatangan Jepang yang melibas Belanda. Setelah Jepang
hengkang pada 1945, lagu ini dilarang.

*l l l*

Tempo mencoba menelusuri rumah di Desa Kemlayan Wetan itu, tempat Njoto
menghabiskan hari hari yang penuh energi. Rumah bertembok tinggi di
Jalan Empu Gandring 141 itu kini menjadi rumah kos. Pintu gerbangnya
yang cokelat tertutup rapat. Tembok pagar setinggi sekitar tiga meteran
itu berwarna putih dan kusam. Seorang perempuan yang membuka pintu
mengatakan, ”Pemilik rumah tidak ada. Semuanya kos di sini.” Pintu
gerbang kembali ditutup. Jalanan lengang.

Sri Honing, 74 tahun, warga asli Kemlayan, berkisah kepada Tempo. Honing
masih ingat salah seorang warga pendatang yang bernama Njoto. ”Dia
bersekolah di sini,” kata Sri Honing, yang tinggal tak jauh dari rumah
indekos tadi. Njoto, menurut Honing, tidak lama tinggal di Kemlayan,
hanya sekitar tiga tahun.

Kemlayan dikenal sebagai kampung seni. Ini tecermin dari nama kampung
itu, Kemlayan, yang berasal dari kata mloyo, yang merujuk pada para
penabuh gamelan Keraton Kasunanan Surakarta, yang banyak tinggal di sini.

Tempo kemudian menelusuri jejak MULO. Sekolah peninggalan Belanda itu
telah berubah menjadi Sekolah Menengah Kristen Mertoyudan, dengan enam
kelas dan 203 siswa. Sebuah prasasti bertahun 1924 tampil di halaman.
”Saya tidak tahu dulu sekolah apa pada zaman Belanda,” kata Nanik
Setiawati, salah satu guru.

Di Jawa Timur, jejak rumah orang tua Njoto di Jalan P.B. Sudirman,
Bondowoso, juga tertinggal samar. Rumah itu telah berubah menjadi rumah
toko yang sudah tak lagi beroperasi. Menurut Umi, salah satu kerabat
keluarga Njoto, toko itu sekarang dimiliki seorang pedagang Tionghoa dan
sudah lama tutup. ”Itu dulu rumah ayah Lek Njot,” kata dia menunjuk ke
seberang dari tokonya yang berjualan tape. Sebuah warung pecel ada di
depan rumah. ”Bapak saya yang menyewa sejak setahun lalu,” kata Titut,
penjual pecel.

Nasib rumah Marjono, kakek Njoto, di Kampung Tempean, Jember, tak kalah
sunyi. ”Pemiliknya, orang Situbondo, pulang kampung karena sakit,” kata
Saenal, Ketua RW. Rumah itu terletak di Gang Tiga persis berseberangan
dengan makam seorang tokoh lokal, Mas Cholilah, di Jalan Samanhudi.

Jupri Ahmari, 74 tahun, sesepuh di Kampung Tempean, bertutur tentang
asal mula nama kampung. ”Dulu, banyak orang membuat tempe, maka disebut
Tempean,” katanya. Kampung ini termasuk basis komunis pada era 1960.
Kini, jejak itu memudar seiring dengan berkembangnya sebuah taman
pendidikan Al Quran.

* *  *